Stand Up Gunung 2016: Kawan, Cerita, dan Awal Baru

Untuk mengindahkan pandangan, silakan geser ke bawah dan klik “view web version” bagi yang mengakses dari HP (tetapi jika tak ditemukan link tersebut, artinya sudah web version via mobile). Jika tidak diklik, ya tidak apa-apa. Yuk, mari!

----------

Berawal dari keputusan membeli tiket presale pertama #StandUpGunung pada September 2016 lalu, terpaparlah tulisan ini.

#StandUpGunung 2016 foto via IG : @standupindonesia
Sebelumnya saya tidak pernah bepergian jauh apalagi untuk sekedar menonton show, tapi kali ini saya pikir bukan sekedar show, sih. Maka dengan ketidakbimbangan yang lebih dominan daripada bimbangnya, saya bertekad harus nonton. Melihat calon penonton yang bahkan lebih jauh dari saya misalnya dari Padang, Medan, Kalimantan, bahkan ada yang dari Kendari, dengar-dengar. Saya yang dari Jember, Jawa Timur -ah, tidak ada apa-apanya- dibanding mereka, musti datang, lah.

Yang saya pikirkan awalnya adalah dengan siapa saya akan ke Stand Up Gunung di Wonogondang, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta ini? Namun karena tak kunjung ada yang bisa dan seminat, pergi sendiri, kenapa tidak? Karena yakin di sana pasti akan lebih seru, ada kawan baru, dan pengalaman baru, tanpa siapa pun yang mengenali karakter asli kita. Bukankah itu menyenangkan?

Stand Up Gunung 2016, yang digagas oleh Mas Anang Batas (@anang_batas) ini sesuatu yang baru dan baru pertama kali diadakannya show stand up comedy bernuansa camping dan gunung. Awalnya saya pikir ini sebagai pengganti stand up festival -yah, meskipun saya belum pernah datang nonton langsung standupfest, sih-. Seperti kata Bang 'Awwe' Andi Wijaya, presiden Stand Up Indo saat ini, di akun twitternya:

 "Standupgunung sendiri bukan pengganti dari standupfest, hanya ingin mencoba sesuatu yang baru. Alhamdulillah cukup sukses dan responnya bagus." @awwe_

Hal-hal yang membuat saya tertarik karena komika yang awesome: sebanyak 37 komika (saya hitung di poster, hehehe, salah tidak?) yang akan mengisi acara Stand Up Gunung ini. Lokasi yang masih dalam pulau Jawa, jadi saya ijinnya juga mudah ke orang tua. Saya sekaligus ingin jalan-jalan dan paling tidak, saya bisa dapat kawan baru, dan suasana baru. Saya sejak awal tidak berekspektasi terlalu tinggi pada acara ini, takutnya jika tidak sesuai dengan bayangan saya, nanti kecewa dan pulang dengan perasaan sedih. Jadi, cukup dibawa santai dan happy saja.

Official poster StandUpGunung via twitter @standupgunung

Berangkat pada Jumat, 4 November pagi dengan naik kereta dan memakan waktu kurang lebih 10 jam. Fiuh... Sampai di penginapan sudah magrib. Berhubung kamar yang saya pilih adalah kamar sharing (satu kamar berisi 6 orang campur, bahkan ada mbak dan mas bule), itu jadi agak sungkan mau ngapa-ngapain sesuka hati, hehe.. Bahkan saya pilih mandi di masjid dekat situ. Yah, buat pengalaman saja, lah. Sehingga hal ini lah yang membuat saya, esok paginya pukul 7 pagi saja sudah bersiap berangkat ke lereng Gunung Merapi. Yang saya pikir saat itu, "Mending mangkrak(semacam tak tahu arah bagai gelandangan) dari pada di penginapan tapi merasa tak nyaman." 

Jadi lah menjadi yang paling pagi datang di bumi perkemahan Wonogondang ini, dan bertemu beberapa kawan baru dan kami cepat sekali akrab. Syukurlah. Oh iya, apresiasi juga untuk panitia yang ramah-ramah dan memfasilitasi apa-apa yang dibutuhkan. Salut, lah.

Pasukan datang awal di Stand Up Gunung, tuh masih sepi kan.
gambar via @standupgunung


Dipasangin gelang dulu biar nggak jadi bayi tertukar. Em...kok so sweet, ya? :P
gambar via @standupgunung
Suasana prepare dan tempat duduk penonton yang pada akhirnya ambyar satu per satu.
Acara masih akan dimulai pukul 13.00 WIB. Setelah mendapat pembagian tenda, kami yang ikut camping, ambil jatah makan. Nah, awalnya saya pikir jatah makan berupa nasi bungkusan/kotak begitu, tapi ternyata malah prasmanan, wow. Fasilitas lain seperti mushola dan kamar mandi di sini saya rasa sudah cukup memadai dan layak.


Sekelompok tenda di antara sekian banyak tenda yang tidak terfoto.
Panggung di siang hari agak panas, tapi tak menyurutkan antusias peserta kemah untuk 'ndoprok' menyaksikan pertujukan dimulai. Dari jam 13.00 WIB ini terus berlanjut beberapa sesi hingga menjelang magrib dan dimulai lagi setelah magrib hingga usai. Kalau siang hari, panggung kesannya agak semrawut menurut saya, tapi malam harinya berubah mejadi pemandangan yang cantik. Keren, lah.


Penampilan Mr. President @awwe_ menjelang petang

panggung berubah epic di malam hari. penampilan @arie_kriting, sudah malam, masih ramai dan semangat. 

Ngomong-ngomong soal penampilan komika, sih, saya paling suka dengan materi stand up yang dibawakan Mas Muslim dan Bang Bene. Favorit, nih berdua. Bikin saya geleng-geleng kepala. Pas banget rasanya, bawa materi soal agama, di tengah panasnya isu nista dan nista.

Acara tanggal 5 November ini ditutup oleh Orkes PensilAlis yang unik dan semua ramai-ramai berjoget di depan panggung berbaur penonton dan komika. Setelah itu berlanjut dengan api unggun, yang katanya bisa jadi semacam beramah tamah begitu, tapi.... kok sepi, ya. Hingga api unggunnya mau habis, tak banyak yang bergabung, hanya jadi acara menghangatkan diri saya pribadi. Yah, mungkin orang-orang sudah lelah.

Esok paginya, acara senam hore-hore bersama. Nggak serius sih senamnya, tapi cukup menyenangkan, yah namanya acara happy-happy. Namun setelah acara senam ini, sepertinya tidak ada acara inti lain. Yah, tahu begitu saya langsung cus pulang, karena kereta adanya jam 8 pagi. Tapi, tak apa lah, saya sudah memutuskan pulang hari senin, tanggal 7, untuk menikmati Jogja dulu.

Beruntungnya, saat saya di mushola, saya berkenalan dengan sebut saja Novi, dia tinggal di Jogja, dengan berbaik hati dia bersedia menampung saya untuk menginap semalam sebelum saya pulang ke Jember. Ah, beruntungnya. Ini yang seru. Buat teman-teman yang nanti akan baru ikut acara-acara seperti ini, jangan takut jika bepergian sendiri. Percayalah kalau akan menemukan kawan baru, jangan takut untuk memulai percakapan dengan orang lain. Selalu ramah dan siap menolong ke orang yang butuh bantuan. Kita nggak tahu bantuan yang kita berikan akan Tuhan balas melalui apa, yang penting percaya saja. Penting juga untuk jangan takut bertanya karena tidak selamanya kita mengandalkan mesin pencari digital. Bagi saya, cara seperti itu adalah bagian dari seni bertahan hidup di kota orang, the art of survival. Lumayan jadi bisa berhemat.

Begitu lah, serangkaian cerita Stand Up Gunung 2016 versi saya. Sudah siap untuk standup event selanjutnya? Ayo, yang belum ikutan, monggo siap-siap dari sekarang, hehe... Berlebihan, ya. Entah di gunung lagi, atau pantai, atau bisa mana saja. Sampai ketemu tahun depan, ya. Sukses lah untuk penyelenggara. Semoga tahun depan ada lagi, boleh dong?

Selfie dulu, boleh dong :))

Ehm...sebentar, sebentar. By the way... saya belum dapat mantel berlogo Stand Up Gunung, nih. :(

Post a Comment

Silakan tinggalkan jejak di sini :)

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates