Judulnya kok ngunu kui? Ya, "Kok ngunu, kui?" adalah ungkapan heran dalam bahasa Jawa yang artinya, "Kok begitu, itu?"
Cerita kok ngunu kui ini adalah cerita saat saya pernah main ke Taman Sari, Yogyakarta. Sebuah wisata sejarah, situs, bekas taman keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ada kolam yang konon dulu sebagai tempat mandi putri, lorong dan kanal air, sumur gumuling, dan kampung wisata yang tergabung di wisata Taman Sari ini.
Saat memasuki kawasan wisata Istana Air Taman Sari, jangan melewatkan berfoto. Misalnya sedang ramai pengunjung, tunggu saja, jangan dilewati dulu, jangan berpikiran untuk nanti kembali ke tempat tersebut setelah berkeliling jalan-jalan. Kenapa? Karena Kawan nggak akan diperbolehkan kembali ke tempat yang sudah dilewati tadi, alias harus mutar melalui pintu masuk awal.
Waktu itu saya sebenarnya ingin mengambil gambar di kolam Taman Sari, dengan kolam yang berwarna biru, tentunya tidak untuk tempat mandi wisatawan. Karena suasana sedang ramai pengunjung baik lokal maupun mancanegara, saya lewati dulu dan memutuskan untuk lihat-lihat bagian lain. Tapi saat saya ingin kembali ke tempat awal tadi, sudah dilarang. Baiklah... Kita lanjut!
Wisata Taman Sari ini juga melibatkan penduduk kawasan tersebut untuk menjadi bagian dari aset wisata. Rute wisata juga melewati gang-gang sempit yang didisain sedemikian rupa dan cukup menarik. Asri sekali. Bahkan masyarakat juga turut serta menjadi pemandu wisata yang akan menyambut Kawan dengan menawarkan diri mereka di pintu masuk kampung wisata tersebut.
Dari beberapa review yang saya baca di google, banyak yang menyarankan alangkah lebih baik untuk menggunakan jasa pemandu wisata, sehingga kita bisa tahu lebih puas tentang wisata sejarah tersebut. Selain membantu perekonomian masyarakat setempat, kita juga akan tahu lebih banyak soal Taman Sari dan tidak hanya pulang dengan kenang-kenangan gambar saja. Ehehe...
Saya ke sana bareng cah Jogja, Mas Seno, yang kenal dari instagram, dan ketemu langsung di tanah kelahirannya. Mas Seno ini yang nyeletuk, "Kok ngunu kui?"
Jadi, sambil berkeliling di Taman Sari, ada rumah batik dan lukisan di sana. Karena saya tertarik, saya memutuskan untuk masuk dan melihat-lihat. Tetapi, si pemilik langsung mengusir saya dengan berkata, "Mbak, ini dijual, tidak untuk dilihat-lihat. Rute wisatanya langsung ke sana itu, loh!"
Dengan agak sedikit tersinggung, saya keluar, dan tersenyum kecut ke Mas Seno. Dia pun menanggapi lirih dengan, "Wong Jogja kok ngunu kui?! (Orang Jogja kok seperti itu?!)"
Saya jadi teringat, ketika saya ingin membeli majalah di salah satu kios toko buku di stasiun. Setelah saya lihat salah satu majalah, saya ingin lihat majalah yang lain dengan minta tolong ke pramuniaganya, dan saya justru mendapat jawaban, "Kalau nggak beli nggak usah lihat-lihat, Mbak!"
Nggak tahu kenapa itu mengesalkan sekali bagi saya. Seseorang yang ingin membeli sesuatu bukannya harus tahu barangnya dulu?
Saya protes, "Maaf Mbak, saya nggak suka dengan perlakuan seperti itu."
"Ya, kan nggak boleh dibaca kalau nggak dibeli, Mbak."
"Itu masih segelan semua lho majalahnya, Mbak!" Kemudian saya berlalu tanpa memberikan dia kesempatan menanggapi. Hah! Yah, setidaknya kekesalan saya terluapkan. Ehe...
Begitu lah, beberapa cerita yang membikin bergumam "Kok ngunu kui, sih?" Teman-teman punya cerita mirip seperti ini juga? Monggo tinggalkan jejak di kolom komentar. :)
Cerita kok ngunu kui ini adalah cerita saat saya pernah main ke Taman Sari, Yogyakarta. Sebuah wisata sejarah, situs, bekas taman keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ada kolam yang konon dulu sebagai tempat mandi putri, lorong dan kanal air, sumur gumuling, dan kampung wisata yang tergabung di wisata Taman Sari ini.
Saat memasuki kawasan wisata Istana Air Taman Sari, jangan melewatkan berfoto. Misalnya sedang ramai pengunjung, tunggu saja, jangan dilewati dulu, jangan berpikiran untuk nanti kembali ke tempat tersebut setelah berkeliling jalan-jalan. Kenapa? Karena Kawan nggak akan diperbolehkan kembali ke tempat yang sudah dilewati tadi, alias harus mutar melalui pintu masuk awal.
Waktu itu saya sebenarnya ingin mengambil gambar di kolam Taman Sari, dengan kolam yang berwarna biru, tentunya tidak untuk tempat mandi wisatawan. Karena suasana sedang ramai pengunjung baik lokal maupun mancanegara, saya lewati dulu dan memutuskan untuk lihat-lihat bagian lain. Tapi saat saya ingin kembali ke tempat awal tadi, sudah dilarang. Baiklah... Kita lanjut!
Wisata Taman Sari ini juga melibatkan penduduk kawasan tersebut untuk menjadi bagian dari aset wisata. Rute wisata juga melewati gang-gang sempit yang didisain sedemikian rupa dan cukup menarik. Asri sekali. Bahkan masyarakat juga turut serta menjadi pemandu wisata yang akan menyambut Kawan dengan menawarkan diri mereka di pintu masuk kampung wisata tersebut.
Dari beberapa review yang saya baca di google, banyak yang menyarankan alangkah lebih baik untuk menggunakan jasa pemandu wisata, sehingga kita bisa tahu lebih puas tentang wisata sejarah tersebut. Selain membantu perekonomian masyarakat setempat, kita juga akan tahu lebih banyak soal Taman Sari dan tidak hanya pulang dengan kenang-kenangan gambar saja. Ehehe...
Saya ke sana bareng cah Jogja, Mas Seno, yang kenal dari instagram, dan ketemu langsung di tanah kelahirannya. Mas Seno ini yang nyeletuk, "Kok ngunu kui?"
Jadi, sambil berkeliling di Taman Sari, ada rumah batik dan lukisan di sana. Karena saya tertarik, saya memutuskan untuk masuk dan melihat-lihat. Tetapi, si pemilik langsung mengusir saya dengan berkata, "Mbak, ini dijual, tidak untuk dilihat-lihat. Rute wisatanya langsung ke sana itu, loh!"
Dengan agak sedikit tersinggung, saya keluar, dan tersenyum kecut ke Mas Seno. Dia pun menanggapi lirih dengan, "Wong Jogja kok ngunu kui?! (Orang Jogja kok seperti itu?!)"
Saya jadi teringat, ketika saya ingin membeli majalah di salah satu kios toko buku di stasiun. Setelah saya lihat salah satu majalah, saya ingin lihat majalah yang lain dengan minta tolong ke pramuniaganya, dan saya justru mendapat jawaban, "Kalau nggak beli nggak usah lihat-lihat, Mbak!"
Nggak tahu kenapa itu mengesalkan sekali bagi saya. Seseorang yang ingin membeli sesuatu bukannya harus tahu barangnya dulu?
Saya protes, "Maaf Mbak, saya nggak suka dengan perlakuan seperti itu."
"Ya, kan nggak boleh dibaca kalau nggak dibeli, Mbak."
"Itu masih segelan semua lho majalahnya, Mbak!" Kemudian saya berlalu tanpa memberikan dia kesempatan menanggapi. Hah! Yah, setidaknya kekesalan saya terluapkan. Ehe...
Begitu lah, beberapa cerita yang membikin bergumam "Kok ngunu kui, sih?" Teman-teman punya cerita mirip seperti ini juga? Monggo tinggalkan jejak di kolom komentar. :)
Post a Comment
Silakan tinggalkan jejak di sini :)