Akhirnya bisa menginjakkan kaki juga di tanah Borobudur yang megah dan klasik itu. Bagi orang lain, mungkin adalah hal yang sudah beberapa kali mereka kunjungi. Tapi, saya bersyukur bisa melihat langsung bangunan yang (menurut sejarah) didirikan oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra ini.
Mungkin ini bukan saat yang tepat bagi saya untuk memuaskan diri menikmati kemegahan Borobudur. Dengan kondisi jalan-jalan yang terjadwal karena bukan jalan-jalan sendiri, yaitu jalan-jalan yang bertepatan dengan semacam studi tour, tentu saya tak bisa seenaknya berlama-lama.
HUJAN
Sebab hujan juga rombongan kami tak bisa berlama-lama di candi Buddha ini. Saya pun hanya sempat berjalan di pinggiran, dan berfoto sebentar, hujan pun turun dan para pengunjung chaos ke arah jalan keluar.
Tentu tak sempat melakukan 'ritual' Pradaksina, mengitari candi searah jarum jam kemudian naik tangga berikutnya di ujung putaran, begitu terus hingga ke puncak stupa. Tak sempat juga ke atas candi melayangkan pandang ke sekeliling: Sindoro, Sumbing, Merbabu, Merapi, dan Perbukitan Menoreh yang merupakan gunung-gunung 'penjaga' Borobudur. Sunset yang menambah kedramatisan candi ini pun tentu tak dapat.
Hujan yang makin deras membuat kami harus segera menyudahi perjalanan di komplek Borobudur ini. Dengan menyewa payung Rp10.000,- kami berjalan melewati pasar oleh-oleh untuk menuju jalan keluar. Namun, ada satu hal yang harus membuat saya kembali masuk.
UANG YANG TERTINGGAL
Ya, uang saya tertinggal. Jadi ceritanya...
Dari pintu masuk pemeriksaan pengunjung, kami menuju loket kereta yang akan mengantar kami ke jalan masuk candi tanpa harus berjalan jauh. Tiket kereta tersebut seharga Rp7.500,-. Saya membeli tiga tiket, jadi semuanya senilai Rp22.500,-. Dengan uang 50ribuan, seharusnya saya mendapat kembalian Rp27.500,-, tetapi saya mendapat kembalian Rp7.500,-. Saya nggak ngecek kembalian karena ribet dengan membantu teman yang lain membeli tiket. Saat kereta jalan, saya baru sadar jika uang kembalian saya kurang Rp20.000,-.
Bagaimana adik-adik, bisa dipahami? Hehehe...
Setelah saya komunikasikan dengan petugas kereta mini tersebut, katanya saya bisa mengambil uangnya nanti saat pulangnya. Nah, ini yang jadi masalah.
Saat hujan sudah semakin deras dan teman-teman rombongan pun menuju arah jalan keluar, saya bingung harus ke loket kereta melalui jalan mana. Ternyata saran teman-teman yang "nanti saja" "nanti pas pulangnya diambil" tidak memberikan solusi. Sama sekali, bahkan saya terasa meracau jika saya merengek bertanya dan minta ditemani ke mana saya harus berarah. Yah, mungkin karena kami sama-sama tak mengenal arah lokasi.
Karena sudah tak memakai payung lagi, saya pun menembus hujan dan berhenti di kantor "tempat pengambilan barang" lalu saya minta tolong ke petugas tersebut, menceritakan kronologi masalah, dan meminta solusi. Dengan kuasa orang dalam situ, saya masuk lewat kantor tersebut sehingga tanpa perlu masuk melalui pintu masuk pemeriksaan yang perlu membawa tiket masuk, saya langsung menuju ke loket kereta tadi. Hujan semakin deras dan tanpa payung. Bodo amat!
Sampailah di loket, dan ketika saya akan menjelaskan ke ibu penjaga loket, seorang perempuan di samping saya dengan juteknya berkata, "Sudah nggak bisa, Mbak, (karcisnya)" dengan nada terasa sedikit mengejek -entahlah atau hanya perasaan saya saja yang tengah sebal saat itu-. Saya membalas, "Saya mau ambil uang, Mbak." dengan saya juteki juga. Aih, kenapa pula harus saya jelaskan hal ini. Hahaha...
Setelah urusan uang beres, saya kembali lewat jalan kantor pengambilan barang tadi. Dan adanya kawan yang ternyata menunggu saya dan kemudian membagi payungnya dengan saya, membuat mood ini membaik. Ah, terima kasih.
Pelajaran yang dapat saya ambil dari hal ini:
Walaupun senilai dua puluh ribu rupiah, bagi saya ya tetap harus saya upayakan rasanya.
Kembali ke topik Borobudur. Tak ada potret yang epic, namun saya punya cerita yang bisa saya ceritakan. Dengan hal-hal yang belum sempat saya rasakan perihal kemegahan Borobudur dan sekitarnya, mungkinkah itu pertanda saya harus kembali ke sana suatu ketika? Who knows... Hehe
Sebab selalu ada cerita dalam sebuah perjalanan. Kalau ceritamu bagaimana, kawan?
![]() |
suasana borobudur yang panas ramai, tetapi sudah mulai mendung |
Mungkin ini bukan saat yang tepat bagi saya untuk memuaskan diri menikmati kemegahan Borobudur. Dengan kondisi jalan-jalan yang terjadwal karena bukan jalan-jalan sendiri, yaitu jalan-jalan yang bertepatan dengan semacam studi tour, tentu saya tak bisa seenaknya berlama-lama.
![]() |
sempat foto di bagian timur Borobudur, ini pun sudah dalam kondisi gerimis |
HUJAN
Sebab hujan juga rombongan kami tak bisa berlama-lama di candi Buddha ini. Saya pun hanya sempat berjalan di pinggiran, dan berfoto sebentar, hujan pun turun dan para pengunjung chaos ke arah jalan keluar.
Tentu tak sempat melakukan 'ritual' Pradaksina, mengitari candi searah jarum jam kemudian naik tangga berikutnya di ujung putaran, begitu terus hingga ke puncak stupa. Tak sempat juga ke atas candi melayangkan pandang ke sekeliling: Sindoro, Sumbing, Merbabu, Merapi, dan Perbukitan Menoreh yang merupakan gunung-gunung 'penjaga' Borobudur. Sunset yang menambah kedramatisan candi ini pun tentu tak dapat.
Hujan yang makin deras membuat kami harus segera menyudahi perjalanan di komplek Borobudur ini. Dengan menyewa payung Rp10.000,- kami berjalan melewati pasar oleh-oleh untuk menuju jalan keluar. Namun, ada satu hal yang harus membuat saya kembali masuk.
UANG YANG TERTINGGAL
Ya, uang saya tertinggal. Jadi ceritanya...
Dari pintu masuk pemeriksaan pengunjung, kami menuju loket kereta yang akan mengantar kami ke jalan masuk candi tanpa harus berjalan jauh. Tiket kereta tersebut seharga Rp7.500,-. Saya membeli tiga tiket, jadi semuanya senilai Rp22.500,-. Dengan uang 50ribuan, seharusnya saya mendapat kembalian Rp27.500,-, tetapi saya mendapat kembalian Rp7.500,-. Saya nggak ngecek kembalian karena ribet dengan membantu teman yang lain membeli tiket. Saat kereta jalan, saya baru sadar jika uang kembalian saya kurang Rp20.000,-.
Bagaimana adik-adik, bisa dipahami? Hehehe...
![]() |
Kereta yang mengantar kami mendekat ke candi |
Setelah saya komunikasikan dengan petugas kereta mini tersebut, katanya saya bisa mengambil uangnya nanti saat pulangnya. Nah, ini yang jadi masalah.
Saat hujan sudah semakin deras dan teman-teman rombongan pun menuju arah jalan keluar, saya bingung harus ke loket kereta melalui jalan mana. Ternyata saran teman-teman yang "nanti saja" "nanti pas pulangnya diambil" tidak memberikan solusi. Sama sekali, bahkan saya terasa meracau jika saya merengek bertanya dan minta ditemani ke mana saya harus berarah. Yah, mungkin karena kami sama-sama tak mengenal arah lokasi.
Karena sudah tak memakai payung lagi, saya pun menembus hujan dan berhenti di kantor "tempat pengambilan barang" lalu saya minta tolong ke petugas tersebut, menceritakan kronologi masalah, dan meminta solusi. Dengan kuasa orang dalam situ, saya masuk lewat kantor tersebut sehingga tanpa perlu masuk melalui pintu masuk pemeriksaan yang perlu membawa tiket masuk, saya langsung menuju ke loket kereta tadi. Hujan semakin deras dan tanpa payung. Bodo amat!
Sampailah di loket, dan ketika saya akan menjelaskan ke ibu penjaga loket, seorang perempuan di samping saya dengan juteknya berkata, "Sudah nggak bisa, Mbak, (karcisnya)" dengan nada terasa sedikit mengejek -entahlah atau hanya perasaan saya saja yang tengah sebal saat itu-. Saya membalas, "Saya mau ambil uang, Mbak." dengan saya juteki juga. Aih, kenapa pula harus saya jelaskan hal ini. Hahaha...
Setelah urusan uang beres, saya kembali lewat jalan kantor pengambilan barang tadi. Dan adanya kawan yang ternyata menunggu saya dan kemudian membagi payungnya dengan saya, membuat mood ini membaik. Ah, terima kasih.
Pelajaran yang dapat saya ambil dari hal ini:
Sekecil apapun nilainya, jika itu adalah hakmu maka engkau berhak. Usahamu tidaklah sebuah kepercumaan.
Walaupun senilai dua puluh ribu rupiah, bagi saya ya tetap harus saya upayakan rasanya.
Kembali ke topik Borobudur. Tak ada potret yang epic, namun saya punya cerita yang bisa saya ceritakan. Dengan hal-hal yang belum sempat saya rasakan perihal kemegahan Borobudur dan sekitarnya, mungkinkah itu pertanda saya harus kembali ke sana suatu ketika? Who knows... Hehe
Sebab selalu ada cerita dalam sebuah perjalanan. Kalau ceritamu bagaimana, kawan?
Oh,semoga ngga terulang lagi kejadian kekurangan pengembalian uang ya,kak.
ReplyDeleteAda baiknya,setiap menerima pengembalian uang,kita hitung dulu jumlahnya.
Kak,candi Borobudur berada dalam daftar Tujuh Keajaiban Dunia sampai sekarang.
Hampir tiap tahun ada lokasi2 baru yang dinilai masuk kategori tujuh keajaiban dunia.
Iya mas, begitu lah kalau kurang teliti dan abai.
DeleteWah, akhirnya saya dapat pencerahan dan baca-baca lagi. Saya agak rancu dengan daftar wonders of the world ini mas. Dan barusan saya dapat di judul Eighth Wonders of the World saya dapatkan Borobudur. Ah, terima kasih sudah diingatkan untuk koreksinya ya Mas!
Sama-sama,kak Veran ☺
DeleteHappy travelling ya,kak ....
Happy travelling to for you mas @Himawan! keep travelling and enjoy. Hehe
DeleteTerimakasih supportnya, kak Ajeng.
DeleteHappy travelling juga ya ...
Semangat, kaaak 👌
Terakhir sy ke borobudur beberapa tahun lalu malah panas terik..tapi bisa menikmati kemegahannya, sy pun merasa hrs kembali ke sana suatu ketika..hihi
ReplyDeleteWah pasti seru ya Mbak bisa menikmatinya. Aamiin... Semoga. Hehe
DeleteKadang saya juga begitu sih mba, habis terima kembalian gak pernah hitung, jadi modal percaya aja :D
ReplyDeleteSaya malah belum pernah ke Borobudur, lumayan jauh soalnya kalo dari Jogja :D
Iya mas, setuju, sering pakai modal percaya. Tapi bisa jadi nggak balik modal tuh. Ehehe... Iya sih mas, lumayan jauh, di Magelang-nya soalnya. Huhu. Ke sana lah suatu ketika mas!
DeleteKirain uang tertinggal itu menceritakan kenangan uang 10 ribuan yg ada Borobudur ya, ternyata uangnya kurang 20 rb
ReplyDeleteSelembar uang yang meninggalkan kisah. Bukan uang bersejarah sih, tapi layak diperjuangkan.
Deleteahhhhhhh kangen yogya!! :(
ReplyDeleteJogja emang ngangenin ya mba :(
Deletetujuan wisata yang sudah tersampaikan namun masih belum bisa kesana karena kesorean.... next trip kami kesana... review wisata di semarang donk :)
ReplyDeleteHalo, Bang Fad! Semoga next trip bisa ke sana, ya. Ditunggu ceritanya. SIiap, Bang Fad, ke Semarang-nya disegerakan. Hihihi
DeleteWah ini kejadian yang tidak mudah dilupakan sepertinya, bisa buat cerita untuk anak cucu nanti Mbak Ajeng.
ReplyDeleteYap Kak, akan terkenang selalu. Hehe
Deleteternyata ada angkutan ya sekarang, sayang sekali bayar
ReplyDeleteIya, Kak. Tapi mayan lah ngga bikin capek. Kalau gratis ntar malah nebeng semua pengunjungnya. Wehe
Delete